Monday 2 January 2012

Sikap Ilmiah yang Terlupakan

Hari itu: Minggu 1 Januari 2012, saya iseng membuka sebuah diktat fisika untuk kelas 1 SMA terbitan Yudhistira karya Bambang Ruwanto tahun 2003. Sebenarnya saat itu saya sedang terobsesi untuk mencari rumus momentum dalam fisika tetapi saya justru tertarik untuk membaca bab pertama yang berjudul ‘Kerja Ilmiah’. Lebih khusus lagi, saya sangat tertarik pada sub bab ‘Karakteristik Sains’. Pada sub bab tersebut, saya mendapati sebuah kalimat yang isinya sebagai berikut
“Melalui kerja ilmiah dapat dikembangkan sikap ilmiah dan nilai ilmiah yang meliputi sikap jujur, rasa ingin tahu yang tinggi, tekun, cermat, dan peduli lingkungan.”
Semasa saya bersekolah dulu, (seingat saya) pedoman ini tidak pernah sekalipun diajarkan di kelas oleh guru saya. Bagi saya, ini hal fundamental yang sangat penting dan seharusnya ditekankan oleh para pengajar sebagai permulaan sebelum para siswa diajari tentang berbagai materi seperti momentum, gerak parabola, fotosintesis, genetika, logaritma, dan lain-lain. Saya tidak tahu kondisi di sekolah lain meskipun saya rasa memang ada yang salah dalam sistem pendidikan kita. Para pengajar kita hanya mengajarkan materi-materi sains tanpa menanamkan nilai luhur dari sikap ilmiah. Saat ini, Indonesia begitu sering memenangi olimpiade sains di tingkat internasional, para siswa lulus dengan NEM tinggi, para mahasiswa mendapatkan gelar sarjana dengan IPK cumlaude, para master dan doktor baru muncul hampir setiap hari akan tetapi negeri ini bukan tambah makmur secara keseluruhan tapi hanya orang-orang tersebut saja yang makmur. Kebanyakan teman saya mendapatkan IPK yang cumlaude, saya sendiri tidak. Dengan demikian, saya berasumsi mereka lebih ilmiah daripada saya dong, tapi kenyataan yang saya temui kebanyakan justru tidak demikian. Saya ingin berkata jujur, manipulasi data adalah hal yang sering sekali saya temui di tempat saya berkuliah saat ini. Saya tidak tahu di perguruan tinggi lain. Tidak mengherankan jika saat ini Indonesia dipenuhi ‘Maling Cerdas’. Selain sikap jujur, rasa ingin tahu para mahasiswa menurut saya juga rendah. Asumsi saya, rasa ingin tahu artinya seorang saintis mau belajar tentang apapun, mempelajarinya secara ilmiah, membaca bacaan apapun untuk menambah pengetahuan. Di kampus saya, mahasiswa hanya tahu materi-materi kuliah, kebanyakan dari kami bersikap apatis mengenai hal-hal yang kami rasa tidak berkaitan dengan kuliah. Saya pikir rasa ingin tahu seharusnya meliputi segala sesuatu yang tidak atau belum kita ketahui, misalnya saja semalam kita ketiduran lalu keesokan harinya kita membaca berita tentang skor sepakbola, saya pikir itu juga merupakan sebuah curiousity. Albert Einstein pernah mengatakan bahwa ia tidak cerdas hanya saja ia memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar. Sementara itu, John Locke menyatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan dari pengalaman. Rasa ingin tahu yang tinggi sangat penting untuk dimiliki seorang saintis. Pengalaman, seperti yang dikatakan oleh Locke hanya bisa didapatkan ketika seseorang memiliki rasa ingin tahu mengenai sesuatu, apapun itu. Saintis seharusnya tekun, sebagai ilustrasi saja ketika melaksanakan penelitian seharusnya saintis tidak hanya berorientasi pada hasil penelitiannya tetapi berorientasi pada proses penelitiannya, hal-hal baru yang akan ditemuinya selama melaksanakan penelitian, melaksanakannya secara tekun, pengamatan dilakukan secara cermat dan melaporkan hasil yang sesuai dengan kenyataan, bukan disesuaikan dengan teori.
Sikap ilmiah terakhir yang dituliskan dalam buku tersebut adalah peduli lingkungan. Pada sikap ilmiah ini, saya secara khusus ingin menyoroti disiplin ilmu teknik atau engineering dan pertanian. Kebanyakan pekerjaan yang ditawarkan pada sarjana teknik adalah pekerjaan merusak lingkungan. Contoh sederhana adalah penambangan, pembuatan pabrik industri yang mengeluarkan limbah ke lingkungan dan sejauh ini saya belum menemukan informasi mengenai terobosan teknologi untuk mendapatkan sumber-sumber yang mereka cari secara rekayasa. Saya berpikir seharusnya orang teknik membuat minyak sendiri dong, namanya engineering kok, harusnya bisa merekayasa minyak, gas alam dan lain-lain dong, kenapa masih saja mengambil bahan-bahan dari alam tanpa bisa menggantikannya. Selain teknik, klaster agro juga menyumbangkan kerusakan lingkungan yang besar menurut saya. Lahan pertanian dan perkebunan didapatkan dengan membuka hutan yang merupakan ekosistem berbagai satwa liar yang saat ini terancam punah. Contoh yang baru saja kita ketahui adalah pembantaian orangutan demi pembukaan lahan perkebunan. Penggunaan pestisida justru membuat berbagai organisme target berevolusi sehingga tidak mempan ketika diperlakukan dengan pestisida. Penggunaan varietas unggul telah membuat berbagai varietas lokal yang alami punah karena kalah seleksi, kita kehilangan banyak sumber genetik. Lingkungan bukan hanya tentang lingkungan alam, lingkungan juga tentang lingkungan sosial. Para ahli-ahli dalam bidang sosial seringkali berbicara tentang kemiskinan, tentang kesejahteraan masyarakat yang tak kunjung membaik. Mereka berkoar-koar untuk membuat gerakan yang dapat memerdekakan rakyat dari kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan mereka tapi kegiatan yang mereka lakukan jauh dari itu. Mereka tetap saja memberi makan kucing mereka dengan asupan gizi tinggi berbiaya tak kurang dari 10 ribu rupiah per hari sementara tidak jauh dari tempat mereka tinggal ada pemulung yang harus menghidupi keluarganya dengan penghasilan 20 ribu rupiah per hari, bisa makan pun sudah sangat bersyukur. Mari membuka mata kita, bukankah Tuhan memerintahkan kita untuk mengasihi sesama, bukankah Tuhan mengatakan bahwa manusia adalah makhluk paling mulia di sisi-Nya. Kita mengetahui hal ini tapi kita berdiam diri saja, kita lebih memuliakan hewan peliharaan kita dibandingkan para manusia yang kita ketahui lebih mulia dibandingkan hewan peliharaan. Para ahli sosial seringkali mendiskreditkan orang-orang pinggiran ini dengan menyebut mereka kafir karena tidak pernah shalat berjamaah di masjid. Sementara para orang kaya ini beribadah di masjid dengan keadaan yang tenang, para orang miskin masih harus berjuang untuk kehidupan mereka yang susah dan keras. Saya bukanlah seorang yang agamis tapi saya tahu Al Quran surat Al-Ma’un, dalam surat tersebut dijelaskan secara tegas bahwa orang yang shalat adalah orang yang celaka, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Mereka menganggap bahwa kehidupan beragama merupakan urusan vertikal antara manusia dengan Tuhan. Mereka menganggap orang-orang yang tidak shalat adalah kafir, dalam surat yang sama dituliskan juga bahwa orang yang mendustakan agama adalah orang-orang yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan pada fakir miskin. Jika sudah demikian, siapakah yang mendustakan agama? Saya tidak berani untuk menyimpulkan hal ini. Permasalahan ini begitu sensitif untuk dibicarakan.
Demikian tulisan ini saya buat sebagai sebuah bentuk dokumentasi dari pemikiran saya yang masih liar. Sekali lagi saya katakan bahwa ini hanyalah hasil pemikiran saya, sangat mungkin bahwa pemikiran ini salah. Saya mohon maaf apabila ada yang merasa tersinggung. Terima kasih telah membaca, semoga bermanfaat.

1 comment:

  1. Yak, saya setuju dengan pandangan Wildan. Kita kehilangan sikap dan sifat keilmiahan, makanya orang kemudian lupa dengan jati dirinya. Padahal dengan dua prinsip itulah manusia mampu menjadi khalifah di muka bumi. Tantangan ke depan? Ya, tentu!

    ReplyDelete