Friday 21 June 2013

Teknologi Leluhur


Peradaban makhluk hidup senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Seiring dengan berkembangnya peradaban, teknologi pun senantiasa berkembang. Perkembangan teknologi yang demikian pesat terkadang membuat kita melupakan teknologi-teknologi terdahulu yang terkadang masih sangat relevan untuk diterapkan. Sayangnya, kita kurang bijak menyikapi hal ini. Ketika kita sadar bahwa kita memiliki sesuatu untuk diterapkan, kita enggan menggunakannya namun kita merasa tersinggung ketika ada orang lain yang menerapkannya. Beberapa waktu ke belakang, kita tentu masih sangat ingat ketika kita enggan menggunakan kain motif batik lalu negara tetangga kita menggunakannya dan mencoba untuk mengklaimnya. Kita marah lalu mulai tersadar akan kesalahan kita yang enggan melestarikan salah satu teknologi yang telah dikreasikan oleh para leluhur kita.

Beberapa waktu yang lalu kain batik yang diklaim, kemudian Reog, selanjutnya apa? Apakah kita masih enggan untuk melestarikan teknologi yang telah kita miliki karena masuknya teknologi asing? Mulai sekarang, mari kita mencoba untuk lebih menyelami kedalaman diri kita dibandingkan mencoba untuk mendaki puncak yang entah berada dimana. Mari mulai lebih banyak bersyukur akan apa yang telah kita miliki dibandingkan terus menerus mengejar sesuatu yang belum kita miliki.

Dalam tulisan ini, saya ingin bercerita kepada pembaca tentang pengalaman saya semenjak kecil hingga tulisan ini dibuat. Saya adalah seorang pemuda yang dibesarkan di pedesaan, saya akrab dengan suasana alami. Itulah alasan mengapa saya merasa kurang nyaman ketika berada di perkotaan yang bagi saya terasa sumpek. Saat ini, saya merupakan seorang mahasiswa tingkat akhir di Fakultas Pertanian UGM. Saya mohon doa dan dukungannya agar dapat menyelesaikan studi pada saat yang tepat J.

Saya rasa akan lebih baik jika langsung memulai cerita saja daripada pembaca bosan membaca penjelasan tentang saya, hehe. Baiklah, mari kita mulai. Dahulu, ketika masih tinggal di rumah Mbok Tuwa saya di Desa Bero, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten, ada sebuah kearifan lokal yang diyakini masyarakat yakni ketika burung prenjak atau cinenen kelabu (Orthomus ruficeps) di sekitar rumah ngganter maka akan ada tamu yang datang ke rumah. Jujur saja, saya kesulitan menerjemahkan kata ngganter ke dalam bahasa lain, jika ada pembaca yang lebih paham Basa Jawa dibandingkan saya tolong dikomentari agar bisa dimengerti oleh lebih banyak orang. Selain prenjak ngganter sebagai pertanda akan datangnya tamu, ada kearifan lokal lain yang menurut saya sangat sesuai untuk dikembangkan dalam ilmu pemuliaan tanaman. Kearifan lokal yang saya maksud adalah tentang buah mangga yang apabila merupakan bekas kelelawar maka dapat dipastikan bahwa buah tersebut rasanya manis. Hal ini menandakan bahwa kelelawar dapat dijadikan kawan ketika akan melakukan seleksi terhadap buah mangga. Selain kelelawar, vertebrata lain yang dapat digunakan sebagai kawan dalam melakukan seleksi adalah emprit atau burung pipit padi (Lonchura leucogastra). Masyarakat memiliki keyakinan bahwa tanaman padi yang dimakan oleh emprit merupakan padi dengan rasa yang enak. Tentu saja dengan konsekuensi hasil panen berkurang, hehe.

Sebenarnya ada banyak kearifan lokal yang telah lama berkembang secara turun-temurun dalam kehidupan masyarakat dan seringkali kita lupakan. Kita lebih memilih untuk mencoba mendaki teknologi yang dikembangkan oleh negara-negara maju dan kita selalu berpikiran bahwa ketika kita menggunakan teknologi tersebut maka akan membuat kita menjadi keren. Bukan saya bersikap skeptic namun kenyataannya memang demikian. Kita akan selalu berusaha untuk mempelajari teknologi-teknologi yang dikirimkan oleh negara maju ke negara kita dan menganggap bahwa teknologi yang mereka kirimkan merupakan teknologi terbaik yang ada di muka bumi. Dalam tulisan ini, saya ingin mengkritik ilmuwan-ilmuwan kita yang dengan gigihnya berjuang mempelajari teknologi buatan asing sehingga kelak mereka akan menguasai teknologi tersebut dan dipekerjakan oleh negara asing. Jujur saja, saya sudah bosan dan muak mendengar cerita para doktor yang selalu mengagung-agungkan teknologi buatan asing, seolah-olah kita tidak memiliki teknologi untuk dibanggakan. Para ilmuwan kita yang seharusnya menjadi figur contoh justru lebih senang mendaki puncak dibandingkan menyelami kedalaman diri sendiri. Saya khawatir, kita akan kembali marah ketika ada orang lain yang berhasil menemukan mutiara yang sangat berharga ketika melakukan penyelaman ke dalam diri kita.

Pertanyaan saya sederhana. Kita memiliki beragam kearifan lokal yang sebenarnya sangat relevan untuk dikembangkan secara ilmiah, kenapa kita tidak pernah mencobanya? Saya rasa masalahnya adalah kompleks inferioritas. Tingkat inferioritas kita sudah sedemikian parahnya hingga saya rasa sudah pada tingkatan yang amat kompleks. Pada kasus kelelawar yang bisa memilih buah mangga manis, kenapa para pakar pemuliaan tanaman di Indonesia yang (katanya) cerdas dan merupakan alumni dari berbagai perguruan tinggi top di dunia tidak pernah menelitinya? Jika sudah pernah menelitinya, mana kah hasil publikasinya? Lalu untuk kasus emprit yang bisa memilih padi dengan rasa yang enak, kenapa kita tidak pernah mencoba untuk melakukan penelitian secara komprehensif dengan melibatkan pakar-pakar yang berkompeten di bidangnya? Saya rasa permasalahan bukan terletak pada kesulitan metode apalagi biaya. Permasalahan terletak pada mental para ilmuwan kita yang tidak pede ketika meneliti sesuatu yang merupakan kekayaan kita sendiri. Para ilmuwan lebih memilih untuk menggunakan molecular marker yang (katanya) lebih jelas dan tentunya lebih keren. Padahal, menurut saya, jika kita bisa mengungkap sisi ilmiah dari emprit yang bisa memilih padi dengan rasa enak, kita tidak akan perlu mengimpor peralatan-peralatan dari luar negeri yang harganya bisa digunakan untuk membeli puluhan ekor domba tersebut sehingga secara ekonomi kita akan menghemat anggaran untuk membeli peralatan yang setiap waktu tertentu akan muncul versi barunya. Selain itu, adakah teknologi kreasi manusia yang mampu menyaingi ciptaan Tuhan? Secanggih apa pun alat yang diciptakan oleh negara maju tidak akan mampu menyaingi kompleksitas proses yang ada dalam tubuh seekor burung pipit. Tuhan telah menciptakan sensor yang jauh lebih canggih dan sensitif yang disematkan dalam burung pipit dibandingkan dengan sensor yang dibuat manusia, apakah kita akan lebih memilih sensor buatan manusia dibandingkan sensor ciptaan Tuhan? Saya merasa sedih melihat ilmuwan yang jelas-jelas berkompeten pada bidangnya, enggan untuk melestarikan teknologi sendiri. Saya merasa sedih karena kita lebih gigih untuk mendaki puncak yang tak jelas dimana namun kita enggan untuk menyelami mutiara yang telah terdapat dalam diri kita sendiri.

Tidak ada kata terlambat untuk memulai. Tidak ada kata terlambat untuk berhenti. Mari mulai merefleksi ke dalam diri kita masing-masing. Sudah bersyukurkah kita akan nikmat yang telah diberikan Tuhan kepada masyarakat Indonesia dengan teknologinya yang luar biasa? Sudahkah kita menyelami ke dalam diri kita tentang seberapa dalam ‘Kadar Ketuhanan’ dalam diri kita? Saya tahu jawaban saya, Anda pun tahu jawaban Anda. Sekarang, tentukan pilihan dan lakukan apa yang Anda yakini kebenarannya!

Sekarang, saya dengan tingkat kemampuan dan ilmu yang masih sangat dangkal akan mencoba untuk menyelami samudra diri untuk menemukan mutiara-mutiara yang terdapat disana. Saya akan mencoba untuk melestarikan teknologi tradisional kita yang dianggap tidak keren oleh para ilmuwan kita. Saya tidak peduli kalian menganggap saya bodoh atau pun melakukan pekerjaan sia-sia, saya akan tetap berusaha untuk menemukan mutiara-mutiara yang tersimpan dalam diri kita. Saya akan menyelaminya seorang diri jika memang harus melakukannya sendiri namun penyelaman saya akan lebih mudah jika kita melakukannya bersama. Saya ingin Anda bergabung untuk bersama-sama menyelami kedalaman samudra kita untuk mencari mutiara-mutiara yang sangat berharga yang terdapat di dalamnya. The choice is yours! Rencana penyelaman pertama yang akan saya lakukan adalah menemukan sisi ilmiah dari kemampuan emprit memilih padi dengan rasa yang enak. Semoga saya mampu menemukan mutiara terpendam dalam penyelaman pertama saya. Harapan saya, kita bisa menyelam bersama dan menggunakan mutiara yang kita temukan untuk kebaikan seluruh manusia. Semoga harapan saya tidak hanya sekedar harapan. Sekian, terima kasih.

1 comment:

  1. Setuju banget Wild. Sekarang penelitian saya justru masuk ke sumber daya alam lokal yang bisa dikembangkan potensinya untuk mendukung pertanian. Mencari gulma yang disukai parasitoid dan predator, atau tumbuhan yang bisa digunakan sebagai pupuk organik, atau tumbuhan yang bisa digunakan untuk memikat cacing...sangat banyak jika kita sebutkan satu per satu. Mudah-mudahan kita masih bisa konsisten untuk mengungkap kehebatan-kehebatan potensi lokal ya Wild. Keragaman hayati di Indonesia ini luar biasa, jadi rasanya aneh kalau kita justru mencarinya dari luar.... Tengkyu sudah berbagi.

    ReplyDelete