Tuesday, 9 October 2012

Kesetaraan Gender, Awal Kemerosotan atau Kebangkitan?


Kesetaraan gender adalah salah satu bahasan yang sampai kapan pun tidak akan pernah habis untuk dibahas. Sebagian kalangan pro akan hal tersebut sementara tidak sedikit orang yang kontra akah hal tersebut. Kesetaraan gender sendiri masih belum jelas batasannya – mungkin ini lah penyebab utama kontroversi. Di Indonesia, awal mula kesetaraan gender dimulai oleh Kartini, seorang bangsawan yang mampu menempuh pendidikan – hal yang tidak didapat oleh kebanyakan perempuan pada saat itu. Kartini mungkin akan senantiasa dikenang oleh Indonesia sebagai pahlawan bagi perempuan, meskipun ada juga orang yang berpikir sebaliknya.
Pada saat ini, sudah banyak perempuan yang berpendidikan tinggi – berkat perjuangan Kartini kala itu, dengan tingkat pendidikan yang tinggi, para perempuan tersebut umumnya bekerja secara professional sebagai wanita karir dalam suatu perusahaan atau instansi tertentu. Bagi saya, hal ini adalah awal mula dari kemerosotan bangsa ini. Awal mula dari degradasi moral Indonesia.
Pada dasarnya, dalam sebuah rumah tangga telah terdapat pembagian tugas dan tugas utama seorang perempuan adalah mengurus segala halyang berada di rumah, tidak ada satu hal pun di rumah yang tak diketahui oleh seorang ibu rumah tangga. Pada saat ini, dimana kebanyakan wanita berkarir secara professional, tugas di rumah diserahkan kepada asisten pengurus rumah. Pada umumnya, para asisten pengurus rumah adalah orang-orang yang berpendidikan rendah dan berasal dari keluarga yang kurang mampu, hal yang (bagi saya) sangat disayangkan karena masyarakat kita sekarang lebih mengutamakan materi dibandingkan masa depan. Kita telah merusak masa depan kita sendiri dengan ‘memasrahkan’ anak-anak yang merupakan masa depan kita kepada orang lain yang seringkali kurang kompeten. Kesetaraan gender sangat berpengaruh terhadap kondisi ini.
Saya pernah membaca beberapa artikel yang menyatakan bahwa periode anak-anak adalah periode terpenting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Oke, saya tidak akan bercerita panjang lebar tanpa memberikan contoh nyata. Secara umum, para asisten rumah adalah mereka yang berpendidikan lebih rendah daripada kita. Para istri sekaligus ibu yang berpendidikan tinggi sibuk bekerja di luar rumah sebagai tenaga professional. Sekarang mari menggunakan logika berpikir. Kita menginginkan anak yang cerdas, berakhlak mulia dan banyak hal hebat lain yang kita harapkan kepada anak-anak kita, tentu saja kita adalah orang yang paling paham mengenai keinginan kita bukan? Jika memang kita adalah orang yang paling paham mengenai keinginan kita akan anak-anak kita, kenapa kita justru menyerahkan anak-anak kita untuk dibimbing oleh orang lain yang secara logika tidak akan paham sepenuhnya mengenai keinginan kita. Jika memang demikian adanya, kenapa kita mau menelantarkan masa depan kita kepada orang lain demi materi yang tidak abadi? Kita bisa melihat sekeliling kita sekarang, anak-anak yang lahir pada periode ’90-an hingga sekarang pada umumnya adalah anak-anak yang ditelantarkan oleh ibunya yang sibuk bekerja sebagai professional, lalu lihat kelakuan anak-anak yang lahir pada periode tersebut? Penghormatan kepada orang lain minim, empati rendah, sopan santun payah, tidak beretika, tidak mengerti norma, dan masih banyak lagi. Jika ukurannya hanya kecerdasan kognitif, memang anak-anak sekarang lebih cerdas, akan tetapi jaman sudah berubah bung! Anak sekarang mampu mendapatkan arus informasi dari mana pun, tidak seperti dulu.
Pertanyaan yang seringkali dikemukakan oleh para aktivis pro kesetaraan gender adalah, lalu apa gunanya pendidikan kita yang tinggi jika ‘hanya’ bekerja di rumah? Pertama, bekerja di rumah tidak pantas mendapat tambahan kata ‘hanya’ karena hal tersebut seolah-olah mengindikasikan bahwa bekerja di rumah merupakan pekerjaan yang tidak terhormat. Bekerja di rumah, bagi saya adalah tingkat pekerjaan yang tertinggi. Pendidikan anak dimulai dari rumah, rumah adalah tempat kita pulang untuk segala urusan duniawi yang mengganggu kita, bahkan ada yang mengatakan rumahku adalah surgaku. Hal-hal tersebut menjelaskan bahwa bekerja di rumah adalah pekerjaan paling mulia. Tugas ibu rumah tangga adalah tugas paling mulia karena seorang ibu rumah tangga bekerja dengan tuntutan yang tinggi seperti yang saya kemukakan di atas dan justru orang-orang merendahkan pekerjaan ibu rumah tangga, sungguh ironis. Kedua, fungsi pendidikan tinggi yang diperoleh perempuan seyogyanya digunakan untuk mencerdaskan anak dan mengelola rumah tangga secara baik. Bukankah dengan pendidikan yang semakin tinggi akan membuat seorang ibu rumah tangga semakin hebat dalam mempersiapkan generasi mendatannya?
Masyarakat kita mungkin terlalu silau dengan kehebatan Kartini yang berhasil mengangkat kaum perempuan, kita tidak sadar bahwa ratusan tahun sebelum Kartini lahir telah ada seorang perempuan yang jauh lebih hebat bernama Gayatri. Kita – orang Indonesia dengan leluhur Majapahit, justru melupakan orang terhebat di Nusantara. Gayatri adalah seorang Ibu Negara, seorang ibu rumah tangga dengan skala yang lebih luas, bukan wanita karir, bukan orang yang mengejar prestasi seperti kebanyakan perempuan seperti saat ini. Sujiwo Tejo pernah ngetweet bahwa masyarakat berbudaya rendah selalu kagum terhadap pria yang berprestasi, sementara masyarakat berbudaya tinggi menghargai sosok wanita di balik pria yang berprestasi tersebut. Kita sangat terkagum-kagum dengan Gajah Mada, kita tidak pernah menghargai sosok Gayatri yang merupakan wanita pembimbing Gajah Mada. Salah satu media massa menyatakan bahwa kehebatan Gayatri justru diteliti oleh orang Inggris, ya mungkin mereka memang memiliki budaya yang lebih tinggi daripada kita…
Saya sendiri setuju dengan pendapat Presiden Jancukers tersebut, dengan sedikit modifikasi. Bagi saya, masayarakat berbudaya rendah kagum dengan sosok yang berprestasi, entah pria atau wanita, sementara masyarakat berbudaya tinggi akan kagum dengan sosok di balik orang yang berprestasi tersebut. Jika memang saat ini (masyarakat) kita berbudaya rendah, kenapa kita tidak mencoba untuk meng-upgrade-nya agar kita menjadi masyarakat berbudaya tinggi, kenapa kita tidak mencoba untuk memberikan apresiasi yang lebih tinggi kepada para ibu rumah tangga yang berpendidikan tinggi dan tidak mendiskreditkan mereka karena tidak bekerja secara professional untuk memperoleh materi seperti kebanyakan perempuan? Saya sendiri berpendapat, seorang wanita baru dikatakan sukses jika anak atau pasangannya sukses, bukan ketika mereka berprestasi. Sekian, terima kasih.

No comments:

Post a Comment