Saturday 22 July 2017

I'm not a good Milanisti


Pada era sepakbola modern saat ini, masa liburan musim panas sebelum dimulainya kompetisi merupakan waktu penting bagi setiap tim mempersiapkan kekuatan menjelang bergulirnya musim baru. Bursa transfer atau mercato menjadi momentum yang tepat mendapatkan pemain dengan profil yang sesuai kebutuhan mereka. Jujur, saya bahagia dengan mercato kali ini karena klub favorit saya dari Italia; AC Milan menunjukkan geliat transfer yang rasanya sangat luar biasa jika dibandingkan manuver transfer klub dalam 5 tahun terakhir.
Di pertengahan bulan juli, Milan sudah mendapatkan 10 pemain baru dengan kualitas yang lebih baik daripada pemain lama. Saya dan banyak fans lain sangat antusias menyambut era baru Il Diavolo Rosso di bawah kepemimpinan Yonghong Li, kami siap menantang perburuan juara! Hari ini, banyak sekali Milanisti yang ‘bertaubat’ dengan menyebut diri mereka sebagai milanisti sejati, number one fans, lahir sebagai milanisti dan sebagainya.
Sebelum bercerita lebih jauh, saya jujur mengakui bahwa saya bukan number one milanisti, saya hanya mencintai Milan dan selalu mendukung Milan meskipun hasilnya sering mengecewakan. Saya tahu diri bahwa di luar sana, ada lebih banyak teman saya yang lebih mencintai Milan, selalu datang bahkan mempersiapkan nobar, hafal banyak chants Milan, memfasilitasi milanisti lain yang ingin sama-sama mendukung Milan dan pengorbanan-pengorbanan lain. Jujur, saya pun sering melewatkan pertandingan karena ada kegiatan lain, streaming sering gagal, pas nonton di TV pun berkali-kali ketiduran. Yeah, I’m not a good milanisti but I still and will always support AC Milan, I promise.
Salah satu hal yang cukup membuat saya risih dengan sosial media adalah setiap orang bisa membuat klaim sendiri untuk diri mereka sendiri. Salah satunya adalah klaim sebagai fans nomor satu dan sejenisnya. Pertanyaan saya, darimana kita bisa memperoleh pengakuan? Apakah pengakuan diberikan oleh diri sendiri atau orang lain?
Dalam beberapa waktu terakhir, saya merasa jengkel dengan kehidupan beragama di Indonesia. Saya jengkel karena beberapa kelompok bersikap seperti sebagian fans yang mengaku ‘paling cinta’ atau ‘paling otentik’ sebagai kelompok Islam. Bagaimana bisa sebagian kelompok mengaku sebagai representatif dari suatu agama atau kelompok yang jumlahnya jauh lebih besar?
Mari menggunakan logika sederhana. Jika 80% warga Indonesia beragama Islam maka jumlah muslim di Indonesia adalah 160 juta jiwa. Jika pun benar bahwa jumlah peserta aksi super damai di Jakarta dan daerah-daerah lain berjumlah 7 juta jiwa atau bahkan 10 juta jiwa, apakah sudah cukup layak untuk menjadi representatif terhadap 160 juta jiwa? Faktanya, 10 juta jiwa ‘hanya’ bernilai 6,25% dari 160 juta jiwa.
...sebagian besar muslim di Indonesia adalah munafik...

Jadi, setelah membuat klaim bahwa diri kalian paling baik, sekarang sudah punya hak untuk menilai orang lain?
Sudah cek kesehatan dan kejiwaan, mas?


No comments:

Post a Comment