Tuesday 15 January 2013

Kuatkan Barisan, saatnya (Kembali) Bersatu



       Beberapa waktu yang lalu, mahasiswa UGM menyelen ggarakan sebuah event akbar bernama PEMIRA yang berfungsi untuk memilih mahasiswa yang akan menempati jabatan-jabatan tertentu dalam struktur organisasi kampus. Dalam perpolitikan, sudah tentu terdapat perbedaan antara kontestan satu dengan kontestan lain. Secara umum, terdapat dua kelompok besar yang bermain dalam PEMIRA di UGM. Kelompok pertama adalah nasionalis dan kelompok kedua adalah kelompok islamis, tidak perlu ditutup-tutup lagi, sekarang semua orang sudah tahu akan hal ini. Semenjak saya sedikit mengerti perpolitikan di kampus sekitar 2 tahun lalu, saya melihat bahwa perbedaan ideologi atau perbedaan lain antara keduanya membuat kedua kelompok ini seolah-olah antipati terhadap kelompok lain. Silakan dikoreksi jika saya salah. Sikap antipati seringkali ditunjukkan oleh salah satu kelompok dalam kepanitiaan suatu event, mereka berusaha untuk memonopoli organizing committee maupun pembicara dalam event tersebut. Sebuah hal yang bagi saya tidak sehat karena seorang mahasiswa seharusnya diberi kebebasan untuk membuka wawasannya seluas mungkin agar kelak ia tahu kemana harus melangkah.

       Perbedaan ideology saya rasa menjadi jurang pembeda yang memisahkan kedua kelompok ini. Pertama adalah kelompok islamis. Berdasarkan pengalaman saya ketika mendengarkan penjelasan dari teman-teman saya yang masuk dalam kelompok ini, mereka mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia berhasil diraih berkat perjuangan para ulama dan tokoh-tokoh islam pada masa itu. Kemudian seseorang menunjukkan kepada saya sebuah buku yang bagi saya sangat tebal – yang membuat saya tidak berminat untuk membacanya – katanya kemerdekaan diraih karena peranan besar para ulama. Do you got the point? Saya pikir saya sudah mendapatkan inti dari apa yang dia katakana kepada saya. Bagi saya, itu fakta dan benar bahwa ulama memegang peranan besar dalam memerdekakan Indonesia. Rasanya tidak adil jika saya tidak menceritakan ideologi dari kelompok nasionalis sehingga kedua kelompok ini bertentangan. Menurut pandangan saya, kelompok nasionalis adalah kelompok yang berusaha untuk mengakomodir hak seluruh golongan dan memandangnya sama rata. Dalam artian setiap elemen masyarakat memiliki peran yang besar bagi kemerdekaan bangsa ini sehingga semua orang berhak mendapatkan kesetaraan peran dalam mengisi kemerdekaan. Dalam skala kampus, mungkin semua orang diperbolehkan memiliki peran yang sama besar. Saya rasa tidak ada yang salah dalam pandangan ini karena faktanya memang semua lapisan masyarakat ikut membantu dalam kemerdekaan Indonesia.

       Saya rasa sudah cukup untuk membahas masa lalu, saatnya focus pada masa sekarang demi masa depan yang lebih baik. Menurut hemat saya, kedua kelompok yang berseberangan sama-sama memiliki dasar yang kuat untuk memperjuangkan apa yang mereka yakini - saya tidak berani berkomentar ketika kita berbicara tentang keyakinan karena itu hal yang sangat pribadi. Permasalahan yang ada hanyalah perbedaan sumber dari ideology mereka. Kelompok islamis saya rasa ‘hanya’ memperoleh informasi tentang perjuangan ulama yang memerdekakan Tanah Air padahal kemerdekaan Indonesia tidak hanya diperoleh berkat perjuangan para ulama, pada masa itu ada banyak pendeta, petani, nelayan, tukang batu, tukang kayu, jambret, pencopet, perampok dan elemen-elemen masyarakat lain yang berperan untuk memerdekakan bangsa ini. Dengan demikian rasanya tidak fair jika menganggap bahwa ulama adalah elemen tunggal yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pada masa setelah merdeka, para founding fathers Indonesia telah memutuskan bahwa dasar negara adalah Pancasila. Tugas kita sekarang yang ‘tinggal’ mengisi kemerdekaan adalah melestarikan nilai-nilai Pancasila ke dalam diri kita untuk menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam Pancasila sila ke-4 terdapat kalimat ‘permusyawaratan perwakilan’ yang seharusnya menjadi dasar kita dalam berpolitik. Permusyawaratan perwakilan bukan demokrasi tidak jelas seperti saat ini yang penuh dengan intrik dan kecurangan. Dalam memimpin suatu lembaga, entah besar atau kecil, seyogyanya dipimpin oleh orang-orang yang berkompeten dalam bidangnya, bukan hanya karena faktor kedekatan. Contoh aplikasi dari permusyawaratan perwakilan adalah ketika kita akan memilih ketua atau presiden, pertimbangan diambil bukan atas dasar suara terbanyak melainkan seseorang atau sekelompok orang yang sekiranya mewakili populasi tersebut, mungkin seperti random sampling dalam statistika, bukan memilih orang yang sekiranya seideologi sehingga hasilnya dapat ditebak.

      PEMIRA telah berlalu dan UGM masih dikenal sebagai Universitas Pengawal Pancasila, jika memang kita sebagai mahasiswa UGM masih ingin mempertahankan itu, mari amalkan Pancasila secara benar dalam kehidupan, jangan mengganti ideology negara dari Pancasila dengan ideology lain. Sekarang sudah bukan saatnya lagi memelihara jurang pemisah di antara kita, sekarang saatnya kita saling mendukung demi tercapainya tujuan negara. Bagi yang menjabat semoga bisa amanah dalam jabatan yang dibawa, bagi yang gagal dalam mendapatkan jabatan harus berbesar hati, bagi yang tidak terlibat dalam proses PEMIRA mari bersinergi dan memonitor kerja mereka. Peringatkan jika menyimpang, perbaiki jika salah, dan lawan ketika keterlaluan. Sepertinya sudah terlalu banyak kicauan saya yang ada dalam posting ini, silakan dikritisi jika salah atau menyimpang. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi saya, Anda, kita, UGM, dan indonesia. Terima kasih.

2 comments:

  1. Hmm, sekeras apapun mempelajarinya sy sejak SD memang tidak pernah bisa paham sila yang terpanjang itu. Tapi kalau memang seharusnya permusyawaratan itu diwakilkan, kenapa pemilihan presiden RI yg dulunya diwakilkan bisa dirubah jadi seperti sekarang? apa berarti pemilu kita menyalahi konstitusi?

    ReplyDelete
  2. pancasila itu satu, berkeTuhanan, kalo udah bertuhan baru bisa berkemanusiaan, kalo udah memanusiakan orang baru bisa bersatu, kalo udah bersatu baru bisa bermusyawarah, dengan bermusyawarah negara baru bisa adil

    ReplyDelete