Beberapa waktu
yang lalu, mahasiswa UGM menyelen ggarakan sebuah event akbar bernama PEMIRA yang
berfungsi untuk memilih mahasiswa yang akan menempati jabatan-jabatan tertentu
dalam struktur organisasi kampus. Dalam perpolitikan, sudah tentu terdapat perbedaan
antara kontestan satu dengan kontestan lain. Secara umum, terdapat dua kelompok
besar yang bermain dalam PEMIRA di UGM. Kelompok pertama adalah nasionalis dan
kelompok kedua adalah kelompok islamis, tidak perlu ditutup-tutup lagi,
sekarang semua orang sudah tahu akan hal ini. Semenjak saya sedikit mengerti
perpolitikan di kampus sekitar 2 tahun lalu, saya melihat bahwa perbedaan
ideologi atau perbedaan lain antara keduanya membuat kedua kelompok ini
seolah-olah antipati terhadap kelompok lain. Silakan dikoreksi jika saya salah.
Sikap antipati seringkali ditunjukkan oleh salah satu kelompok dalam
kepanitiaan suatu event, mereka berusaha untuk memonopoli organizing committee maupun pembicara dalam event tersebut. Sebuah
hal yang bagi saya tidak sehat karena seorang mahasiswa seharusnya diberi
kebebasan untuk membuka wawasannya seluas mungkin agar kelak ia tahu kemana
harus melangkah.
Perbedaan
ideology saya rasa menjadi jurang pembeda yang memisahkan kedua kelompok ini.
Pertama adalah kelompok islamis. Berdasarkan pengalaman saya ketika
mendengarkan penjelasan dari teman-teman saya yang masuk dalam kelompok ini,
mereka mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia berhasil diraih berkat perjuangan
para ulama dan tokoh-tokoh islam pada masa itu. Kemudian seseorang menunjukkan
kepada saya sebuah buku yang bagi saya sangat tebal – yang membuat saya tidak
berminat untuk membacanya – katanya kemerdekaan diraih karena peranan besar
para ulama. Do you got the point?
Saya pikir saya sudah mendapatkan inti dari apa yang dia katakana kepada saya.
Bagi saya, itu fakta dan benar bahwa ulama memegang peranan besar dalam
memerdekakan Indonesia. Rasanya tidak adil jika saya tidak menceritakan
ideologi dari kelompok nasionalis sehingga kedua kelompok ini bertentangan.
Menurut pandangan saya, kelompok nasionalis adalah kelompok yang berusaha untuk
mengakomodir hak seluruh golongan dan memandangnya sama rata. Dalam artian
setiap elemen masyarakat memiliki peran yang besar bagi kemerdekaan bangsa ini
sehingga semua orang berhak mendapatkan kesetaraan peran dalam mengisi
kemerdekaan. Dalam skala kampus, mungkin semua orang diperbolehkan memiliki
peran yang sama besar. Saya rasa tidak ada yang salah dalam pandangan ini
karena faktanya memang semua lapisan masyarakat ikut membantu dalam kemerdekaan
Indonesia.
Saya rasa sudah
cukup untuk membahas masa lalu, saatnya focus pada masa sekarang demi masa
depan yang lebih baik. Menurut hemat saya, kedua kelompok yang berseberangan
sama-sama memiliki dasar yang kuat untuk memperjuangkan apa yang mereka yakini
- saya tidak berani berkomentar ketika kita berbicara tentang keyakinan karena
itu hal yang sangat pribadi. Permasalahan yang ada hanyalah perbedaan sumber
dari ideology mereka. Kelompok islamis saya rasa ‘hanya’ memperoleh informasi
tentang perjuangan ulama yang memerdekakan Tanah Air padahal kemerdekaan
Indonesia tidak hanya diperoleh berkat perjuangan para ulama, pada masa itu ada
banyak pendeta, petani, nelayan, tukang batu, tukang kayu, jambret, pencopet,
perampok dan elemen-elemen masyarakat lain yang berperan untuk memerdekakan
bangsa ini. Dengan demikian rasanya tidak fair
jika menganggap bahwa ulama adalah elemen tunggal yang memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Pada masa setelah merdeka, para founding fathers Indonesia telah memutuskan bahwa dasar negara
adalah Pancasila. Tugas kita sekarang yang ‘tinggal’ mengisi kemerdekaan adalah
melestarikan nilai-nilai Pancasila ke dalam diri kita untuk menjalani kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam Pancasila sila ke-4 terdapat kalimat ‘permusyawaratan
perwakilan’ yang seharusnya menjadi dasar kita dalam berpolitik.
Permusyawaratan perwakilan bukan demokrasi tidak jelas seperti saat ini yang
penuh dengan intrik dan kecurangan. Dalam memimpin suatu lembaga, entah besar
atau kecil, seyogyanya dipimpin oleh orang-orang yang berkompeten dalam
bidangnya, bukan hanya karena faktor kedekatan. Contoh aplikasi dari
permusyawaratan perwakilan adalah ketika kita akan memilih ketua atau presiden,
pertimbangan diambil bukan atas dasar suara terbanyak melainkan seseorang atau
sekelompok orang yang sekiranya mewakili populasi tersebut, mungkin seperti random sampling dalam statistika, bukan
memilih orang yang sekiranya seideologi sehingga hasilnya dapat ditebak.
PEMIRA telah
berlalu dan UGM masih dikenal sebagai Universitas Pengawal Pancasila, jika
memang kita sebagai mahasiswa UGM masih ingin mempertahankan itu, mari amalkan
Pancasila secara benar dalam kehidupan, jangan mengganti ideology negara dari
Pancasila dengan ideology lain. Sekarang sudah bukan saatnya lagi memelihara
jurang pemisah di antara kita, sekarang saatnya kita saling mendukung demi
tercapainya tujuan negara. Bagi yang menjabat semoga bisa amanah dalam jabatan
yang dibawa, bagi yang gagal dalam mendapatkan jabatan harus berbesar hati, bagi
yang tidak terlibat dalam proses PEMIRA mari bersinergi dan memonitor kerja
mereka. Peringatkan jika menyimpang, perbaiki jika salah, dan lawan ketika
keterlaluan. Sepertinya sudah terlalu banyak kicauan saya yang ada dalam posting ini, silakan dikritisi jika salah atau menyimpang.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi saya, Anda, kita, UGM, dan indonesia.
Terima kasih.
Hmm, sekeras apapun mempelajarinya sy sejak SD memang tidak pernah bisa paham sila yang terpanjang itu. Tapi kalau memang seharusnya permusyawaratan itu diwakilkan, kenapa pemilihan presiden RI yg dulunya diwakilkan bisa dirubah jadi seperti sekarang? apa berarti pemilu kita menyalahi konstitusi?
ReplyDeletepancasila itu satu, berkeTuhanan, kalo udah bertuhan baru bisa berkemanusiaan, kalo udah memanusiakan orang baru bisa bersatu, kalo udah bersatu baru bisa bermusyawarah, dengan bermusyawarah negara baru bisa adil
ReplyDelete