Persepakbolaan Indonesia sedang bersuka
cita. Para pemuda Tanah Air yang tergabung dalam Tim Nasional (Timnas)
Indonesia U-19 berhasil mempersembahkan trofi AFF Cup U-19 yang telah lama
diidam-idamkan. Timnas Indonesia U-19 melanjutkan kegemilangannya dengan
menghajar Laos, Filipina, dan Korea Selatan untuk mengamankan tiket lolos
langsung ke putaran final Piala Asia 2014 di Myanmar. Kegemilangan yang
diperlihatkan Timnas U-19 sontak membuat para bintang Garuda seperti Ravi
Murdianto, Ilham Udin Armayn, Muchlis, Yama Pranata, dan tentu saja sang
kapten, Evan Dimas menjadi pujaan baru publik. Mereka dielu-elukan bak pahlawan
yang setiap gerak-geriknya senantiasa diperhatikan.
Euforia langsung terasa setelah keberhasilan
Timnas U-19 menjuarai AFF Cup U-19, masyarakat makin bersuka cita setelah
Timnas U-19 berhasil lolos otomotasi ke putaran final Piala Asia U-19. Di
tengah euforia tersebut, tiba-tiba masyarakat dikejutkan dengan pemberitaan
mengenai sang kapten, Evan Dimas yang statusnya sebagai pemain profesional
dipertanyakan. Evan yang bermain di Persebaya 1927 dianggap sebagai pemain
amatir karena klub yang dibelanya tidak diakui secara legal oleh Persatuan
Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Sebuah hal yang membuat Evan tidak bisa
mengembangkan karirnya karena ketiadaan sertifikat sebagai pemain profesional
dari PSSI.
Mari menelusuri kembali kiprah Evan
Dimas di kancah persepakbolaan nasional dan internasional. Pada beberapa tahun
lalu, Evan bersama Mitra Surabaya berhasil menjadi juara pada Kejuaraan U-15,
sebuah indikasi akan bakat nasional mulai tercium. Evan kemudian dipilih
sebagai salah satu pemain untuk memperkuat Timnas U-17 yang berlaga di
Hongkong. Kala itu, Evan yang dipercaya sebagai kapten membuktikan
kapabilitasnya sebagai pesepakbola handal dengan mengantarkan Timnas U-17
sebagai juara. Pada September 2013, Evan memimpin Indonesia bertarung di level
yang lebih tinggi dan berhasil menjadi kampiun di AFF Cup U-19, sebuah trofi
yang belum pernah diraih oleh Timnas Indonesia. Jangan lupakan pula
keikutsertaannya dalam ajang pencarian bakat yang diadakan oleh sebuah produsen
alat olahraga internasional. Evan adalah satu-satunya wakil Indonesia yang
terpilih dalam ajang tersebut dan ia telah mendapatkan pelatihan langsung oleh
Pep Guardiola! Kurang apa lagi?
Ketika berbicara tentang profesionalitas
dalam persepakbolaan Indonesia maka yang muncul adalah permasalahan pelik yang
telah berakar sangat dalam. Klub-klub maupun pemain yang terbilang legendaris
pun profesionalitasnya masih patut dipertanyakan. Siapa yang tidak tahu Persija
Jakarta atau Persebaya Surabaya (kini berganti nama menjadi Persebaya 1927)?
Seluruh pecinta sepakbola Tanah Air pasti tahu klub-klub tersebut. Siapa yang
tidak kenal dengan Bambang Pamungkas? Semua orang di Indonesia pun mengenalnya.
Persija, Persebaya, dan Bambang Pamungkas adalah legenda dalam persepakbolaan
nasional, apakah mereka profesional? Tunggu dulu. Pada saat Liga Super
Indonesia (ISL) dan Liga Primer Indonesia (IPL) musim 2012/2013 akan dimulai,
klub-klub top tersebut masih memiliki berbagai permasalahan dasar yang belum
diselesaikan. Persija Jakarta dan Persebaya 1927 belum melunasi gaji pemain
yang seharusnya dibayarkan ketika musim 2011/2012 berakhir. Penunggakan gaji
pemain sepertinya menjadi permasalahan serius yang harus segera diatasi oleh
klub ‘profesional’ di Indonesia. Permasalahan ini menyerang semua pemain, dari pemain
muda yang baru naik tingkat hingga pemain legendaris sekelas Bambang Pamungkas.
Apakah penunggakan gaji pemain untuk waktu yang berbulan-bulan pantas bagi
sebuah klub profesional? Saya rasa TIDAK! Salah satu pengertian dari kata
‘profesional’ yang tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya. Para pemain ‘profesional’ di
Indonesia telah melakukannya dengan bermain sepakbola untuk klub yang dibelanya,
sudah tuntaskah pembayarannya? Jika belum, mereka belum pantas disebut profesional.
Kembali ke kasus Evan Dimas. PSSI telah
mengebiri kesempatan sang jenderal lapangan untuk mengembangkan karirnya di
klub profesional. PSSI telah mengebiri seorang bakat besar, seharusnya PSSI
berlaku adil kepada seluruh pemain di Indonesia, PSSI harus membuka kembali
pengertian kata ‘profesional’ yang terdapat dalam KBBI agar bisa menetapkan
status profesional bagi pemain maupun klub sepakbola. Football is a simple game based on the giving and taking of passes, of
controlling the ball and of making yourself available to receive a pass. It is
terribly simple (sepakbola adalah suatu permainan sederhana yang didasari
dengan memberi dan menerima umpan, mengontrol bola, dan memposisikan diri agar
dapat menerima umpan. Ini sangat sederhana), demikian yang diungkapkan pelatih legendaris
Liverpool, Bill Shankly. Evan Dimas dkk mungkin belum membaca kutipan tersebut
namun mereka telah mempraktikannya di lapangan yang berujung pada trofi AFF Cup
U-19 dan tiket otomatis Piala Asia U-19. Kini, pilihan berada di pihak PSSI.
Apakah PSSI hanya akan menjadi lembaga birokratis yang mempermasalahkan
sertifikat profesional atau benar-benar menjadi wadah sepakbola bagi seluruh
rakyat Indonesia? Saya menyarankan para pengurus PSSI untuk mencermati kembali
makna ‘Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia’ agar mereka melihat kemampuan
sepakbola sebagai prioritas utama, bukan sertifikat profesionalitas yang tidak
jelas dasarnya.
No comments:
Post a Comment