Thursday 24 October 2013

Benarkah Sepakbola Kita Profesional?


Persepakbolaan Indonesia sedang bersuka cita. Para pemuda Tanah Air yang tergabung dalam Tim Nasional (Timnas) Indonesia U-19 berhasil mempersembahkan trofi AFF Cup U-19 yang telah lama diidam-idamkan. Timnas Indonesia U-19 melanjutkan kegemilangannya dengan menghajar Laos, Filipina, dan Korea Selatan untuk mengamankan tiket lolos langsung ke putaran final Piala Asia 2014 di Myanmar. Kegemilangan yang diperlihatkan Timnas U-19 sontak membuat para bintang Garuda seperti Ravi Murdianto, Ilham Udin Armayn, Muchlis, Yama Pranata, dan tentu saja sang kapten, Evan Dimas menjadi pujaan baru publik. Mereka dielu-elukan bak pahlawan yang setiap gerak-geriknya senantiasa diperhatikan.
Euforia langsung terasa setelah keberhasilan Timnas U-19 menjuarai AFF Cup U-19, masyarakat makin bersuka cita setelah Timnas U-19 berhasil lolos otomotasi ke putaran final Piala Asia U-19. Di tengah euforia tersebut, tiba-tiba masyarakat dikejutkan dengan pemberitaan mengenai sang kapten, Evan Dimas yang statusnya sebagai pemain profesional dipertanyakan. Evan yang bermain di Persebaya 1927 dianggap sebagai pemain amatir karena klub yang dibelanya tidak diakui secara legal oleh Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Sebuah hal yang membuat Evan tidak bisa mengembangkan karirnya karena ketiadaan sertifikat sebagai pemain profesional dari PSSI.
Mari menelusuri kembali kiprah Evan Dimas di kancah persepakbolaan nasional dan internasional. Pada beberapa tahun lalu, Evan bersama Mitra Surabaya berhasil menjadi juara pada Kejuaraan U-15, sebuah indikasi akan bakat nasional mulai tercium. Evan kemudian dipilih sebagai salah satu pemain untuk memperkuat Timnas U-17 yang berlaga di Hongkong. Kala itu, Evan yang dipercaya sebagai kapten membuktikan kapabilitasnya sebagai pesepakbola handal dengan mengantarkan Timnas U-17 sebagai juara. Pada September 2013, Evan memimpin Indonesia bertarung di level yang lebih tinggi dan berhasil menjadi kampiun di AFF Cup U-19, sebuah trofi yang belum pernah diraih oleh Timnas Indonesia. Jangan lupakan pula keikutsertaannya dalam ajang pencarian bakat yang diadakan oleh sebuah produsen alat olahraga internasional. Evan adalah satu-satunya wakil Indonesia yang terpilih dalam ajang tersebut dan ia telah mendapatkan pelatihan langsung oleh Pep Guardiola! Kurang apa lagi?
Ketika berbicara tentang profesionalitas dalam persepakbolaan Indonesia maka yang muncul adalah permasalahan pelik yang telah berakar sangat dalam. Klub-klub maupun pemain yang terbilang legendaris pun profesionalitasnya masih patut dipertanyakan. Siapa yang tidak tahu Persija Jakarta atau Persebaya Surabaya (kini berganti nama menjadi Persebaya 1927)? Seluruh pecinta sepakbola Tanah Air pasti tahu klub-klub tersebut. Siapa yang tidak kenal dengan Bambang Pamungkas? Semua orang di Indonesia pun mengenalnya. Persija, Persebaya, dan Bambang Pamungkas adalah legenda dalam persepakbolaan nasional, apakah mereka profesional? Tunggu dulu. Pada saat Liga Super Indonesia (ISL) dan Liga Primer Indonesia (IPL) musim 2012/2013 akan dimulai, klub-klub top tersebut masih memiliki berbagai permasalahan dasar yang belum diselesaikan. Persija Jakarta dan Persebaya 1927 belum melunasi gaji pemain yang seharusnya dibayarkan ketika musim 2011/2012 berakhir. Penunggakan gaji pemain sepertinya menjadi permasalahan serius yang harus segera diatasi oleh klub ‘profesional’ di Indonesia. Permasalahan ini menyerang semua pemain, dari pemain muda yang baru naik tingkat hingga pemain legendaris sekelas Bambang Pamungkas. Apakah penunggakan gaji pemain untuk waktu yang berbulan-bulan pantas bagi sebuah klub profesional? Saya rasa TIDAK! Salah satu pengertian dari kata ‘profesional’ yang tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya. Para pemain ‘profesional’ di Indonesia telah melakukannya dengan bermain sepakbola untuk klub yang dibelanya, sudah tuntaskah pembayarannya? Jika belum, mereka belum pantas disebut profesional.
Kembali ke kasus Evan Dimas. PSSI telah mengebiri kesempatan sang jenderal lapangan untuk mengembangkan karirnya di klub profesional. PSSI telah mengebiri seorang bakat besar, seharusnya PSSI berlaku adil kepada seluruh pemain di Indonesia, PSSI harus membuka kembali pengertian kata ‘profesional’ yang terdapat dalam KBBI agar bisa menetapkan status profesional bagi pemain maupun klub sepakbola. Football is a simple game based on the giving and taking of passes, of controlling the ball and of making yourself available to receive a pass. It is terribly simple (sepakbola adalah suatu permainan sederhana yang didasari dengan memberi dan menerima umpan, mengontrol bola, dan memposisikan diri agar dapat menerima umpan. Ini sangat sederhana), demikian yang diungkapkan pelatih legendaris Liverpool, Bill Shankly. Evan Dimas dkk mungkin belum membaca kutipan tersebut namun mereka telah mempraktikannya di lapangan yang berujung pada trofi AFF Cup U-19 dan tiket otomatis Piala Asia U-19. Kini, pilihan berada di pihak PSSI. Apakah PSSI hanya akan menjadi lembaga birokratis yang mempermasalahkan sertifikat profesional atau benar-benar menjadi wadah sepakbola bagi seluruh rakyat Indonesia? Saya menyarankan para pengurus PSSI untuk mencermati kembali makna ‘Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia’ agar mereka melihat kemampuan sepakbola sebagai prioritas utama, bukan sertifikat profesionalitas yang tidak jelas dasarnya.

No comments:

Post a Comment